Mengabaikan Keberadaan Majaz Dalam Memahami Al Qur’an

Terdapat satu permasalahan,mengabaikan sebagian jenis makna lafadz yang biasa digunakan oleh Bangsa Arab (yaitu makna majaz) dan hanya mau berpegang kepada sebagian jenis makna yang lain (yaitu makna denotatif/ haqiqoh lughowiyah) dalam memahami Al Qur’an akan menimbulkan dua macam bencana:

  1. Mereka terjerumus ke dalam dosa karena tidak memahami Al Qur’an dengan Bahasa Arab,padahal Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Alasannya karena hanya mau berpegang kepada satu jenis makna yang digunakan oleh orang Arab, seraya enggan menggunakan jenis makna yang lain, sama artinya dengan tidak menggunakan Bahasa Arab dalam memahami Al Qur’an. Yang demikian itu bertentangan dengan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kitab yang berbahasa Arab.
  2. Mereka terjebak ke dalam kekacauan ketika memahami beberapa ayat Al Qur’an karena tidak mau mengakui sebagian jenis maknanya. Ketika mereka membaca Firman Allah SWT Amat besar penyesalanku atas apa yang aku lalaikan dalam pinggang Allah (janbuLlaah). (TQS Az Zumar ayat 56) serta Firman Allah :dan kekallah wajah Tuhanmu (TQS Ar Rahman ayat 27) sementara mereka membatasi diri dalam memahami lafadz janbun (pinggang) dan wajhun (wajah) dengan makna denotatif, maka pemahaman mereka akan kacau, karena makna denotatif yang ciptakan oleh Bangsa Arab untuk lafadz-lafadz tersebut adalah pinggang dan wajah yang telah dikenal. Padahal Allah Maha Suci dari makna hakiki yang dikehendaki oleh Bangsa Arab untuk kedua lafadz tersebut, sebab Allah itu tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya (TQS Sy Syuro ayat 11). Oleh karena itu, mereka terjatuh dalam kebingungan, kemudian dalam menafsirkannya mereka berkata jambullaah adalah pinggang Allah yang tidak seperti pinggang dan wajhullaah adalah wajah Allah yang tidak seperti wajah.
Penafsiran terhadap lafadz “janbun” dan “wajhun” yang demikian itu merupakan penafsiran yang tidak mengacu kepada Bahasa Arab. Sebab, mereka tidak menafsirkannya dengan makna hakiki yang diciptakan oleh Bangsa Arab untuk lafadz tersebut, mereka juga tidak menafsirkannya dengan makna urfiyah yang dikenal oleh Bangsa Arab untuk lafadz tersebut, dan mereka juga tidak menafsirkannya dengan majaz atau kinayah yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab. Mereka justru berkata: “pinggang artinya pinggang yang tidak seperti pinggang; dan wajah artinya wajah yang tidak seperti wajah. Ini menunjukkan bahwa mereka sendiri mengakui bahwa lafadz-lafadz dalam ayat tersebut tidak digunakan dengan makna hakiki sebagaimana yang buat oleh Bangsa Arab. 
  Namun, alih-alih mereka menafsirkannya dengan makna majazi yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab, anda justru melihat bahwa mereka membuat makna baru untuk lafadz-lafadz tersebut yang tidak dikenal dalam Bahasa Arab. Kata wajah, misalnya,dalam Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,maksudnya adalah dzatnya, secara majaz. Akan tetapi, orang Arab tidak pernah menggunakan kata wajah dalam arti “wajah, tapi tidak seperti wajah”. Padahal Al Qur’an berbahasa Arab, maka ayat-ayat dan kata-katanya seharusnya ditafsirkan dengan Bahasa Arab.
Seandainya mereka mau melakukan hal yang demikian itu, serta mau melakukan penelaahan, niscaya mereka akan menjumpai bahwa Bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz. Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya. Atas dasar itu, makna ayat yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (Az Zumar ayat 56), adalah dalam apa yang ada di antara aku dan Allah, apabila aku lekatkan pengabaianku kepada apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan apa yang menjadi laranganNya untukku. Di antara yang menggunakan makna ini adalah hadits Rasulullah saw, kullush shoidi fii janbil faroo, atau jaufil faroo setiap buruan ada di pinggang atau di lambung keledai liar maksudnya, setiap binatang buruan itu terkait dengan keledai liar apabila dikiaskan dan didekatkan dengannya.
  Begitu juga dengan juga kata“wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum. Dengan demikian, ayat (yang artinya) dan kekallah wajah Tuhanmu (tQS Ar Rahman ayat 27) makna wajah dalam konteksitu artinya adalah Dzaat Allah Ta’ala[2], Tidak bisa dikatakan bahwa ini merupakan bentuk takwil yang jauh dari makna yang dikehendaki[3]. Tidak bisa dikatakan demikian karena orang Arab telah menggunakan makna tersebut dalam pembicaraan mereka. Dengan demikian, Bahasa Arab tidak menolak makna tersebut, karena suatu kalimat itu mungkin dimaknai secara hakekat dan bisa jadi pula secara majaz. Terlebih lagi, setiap muslim meyakini bahwa Allah Ta’aalaa Maha Suci dari “jambun/pinggang” dan “wajhun/wajah” menurut makna hakiki yang dibuat oleh Bangsa Arab. Dengan kata lain, di sini penerapan makna hakiki jelas terhalang, oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah makna majazi yang juga digunakan oleh orang Arab, dan ditafsirkan dengan penafsiran yang sesuai denganNya, sebab Aqidah Islam memastikan bahwa Allah jalla Jalaaluhu tidak memiliki wajah sesuai hakekat lughowiyah seperti wajah kita, dan Dia juga tidak memiliki pinggang menurut hakekat lughowiyah seperti pinggang kita, sebab Allah Maha Suci dari penyerupaan dan permisalan, Allah berfirman (artinya) Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya (TQS Asy Syuroo ayat 11). 
 Maka dalam kondisi demikian itu ada dua kemungkinan:
  1. lafadz itu ditafsirkan dengan Bahasa Arab sehingga yang digunakan adalah makna majaz, sehingga dikatakan bahwa wajah yang dimaksud adalah permisalan yang merujuk kepada Dzat Allah yang Maha Suci.
  2. Atau ditafsirkan dengan tidak menggunakan Bahasa Arab, sehingga kita berkata “wajah yang tidak seperti wajah“, seolah-olah orang yang mengatakan demikian itu malu untuk mengatakan “aku tidak tahu” (sebab wajah yang tidak seperti wajah itu secara bahasa tidak disebut wajah. Dengan demikian, ayat ini menjadi tidak punya makna yang dapat dipahami dan diamalkan -pent).


Demikianlah, sesungguhnya orang yang menyatakan bahwa seluruh lafadz yang digunakan oleh bangsa Arab semuanya bermakna hakiki, atau orang yang menetapkan keberadaan makna majaz di dalam bahasa namun mengingkari keberadaannya di dalam Al Qur’an, sehingga ketika memaknai Al Qur’an, mereka hanya menggunakan satu jenis makna seraya mengabaikan jenis makna lain yang ada di dalam Bahasa Arab. Itu semua lebih parah dari pelanggaran mereka terhadap nash Al Qur’an (Al Qur’an) ini Bahasa Arab yang nyata (TQS An Nahl), sementara mereka tidak berpegang kepada Bahasa Arab dalam memahaminya.
  Saya mengatakan lebih parah dari itu, karena mereka telah menyibukkan umat islam dalam permasalahan yang membuat mereka terpecah-pecah, sehingga hampir-hampir setiap kelompok mengkafirkan kelompok yang lain sedang mereka tidak sadar. Seandainya mereka memperhatikan aspek- aspek penunjukkan bahasa, niscaya perpecahan itu tidak terjadi sehingga mereka tidak saling bermusuhan dan tetap menyembah Allah sebagai satu saudara[4].

  Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan seorang ahli bahasa nomor satu, Ibnu Jinni, yang berkata: jalan untuk memecahkan masalah itu adalah bahwa sebagian besar dari bahasa ini berjalan dengan makna majaz, sebagian kecil darinya keluar menuju makna hakiki, sedangkan kaum yang diajak bicara dengan bahasa itu merupakan manusia yang paling mengenal akan keluasan madzhab-madzhabnya dan arah-arah penyebarannya, pembicaraan mereka dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi adat dan kebiasaan dalam bahasa itu, dan mereka memahami maksud perkataan orang yang berbicara kepada mereka dengan bahasa tersebut berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan mereka dalam menggunakannya. Oleh karena itu, mereka memiliki aqidah yang shohih, amal-amal mereka ikhlash untuk Allah, urusan mereka berjalan secara istiqomah, sementara kondisi mereka dalam keadaan yang baik, mereka itu adalah orang-orang yang hidup pada masa Rasulullah shollallaahu alaihi wa sallam dan para shohabat ridhwanullah alaihim, di atas jalan yang cerah, yang memiliki malam seterang siangnya, tidak menyimpang darinya keculai orang yang celaka, tidak menjauhinya kecuali orang yang sesat.

  1. Dikutip dan di indonesiakan dari bagian muqodimah kitab AtTaisiir fii Ushuulit Tafsiir karya Atho’ Abu Rusytah, halaman 27 sampai halaman 29. Catatan kaki oleh penterjemah [1 Ramadhan 1431 H]
  2. Menurut saya, dalil menentukan pemilihan makna majaz ini adalah konteks pembicaraan (siyaqul kalam) ayat ini.Ayat ini bukan ingin menjelaskan perihal anggota badan Allah Maha Suci Allah dari yang demikian-. Pada ayat ke-26 Allah berfirman kullu man ‘alaihaa faahin” segala yang ada di atasnya akan binasa, yakni ayatini bicara soal ketidak-kekalan alam dan seluruh makhluq. Lalu Dia berfirman wa yabqoo wajhu Rabbika sementara wajah Tuhanmu kekal. Konteks pembicaraannya jelas perbandingan antara Allah dan makhluqnya, alam semesta itu fana dan tidak kekal, sedangkan wajah Tuhanmu itu kekal. Jadi topiknya adalah masalah kekekalan Allah dan kefanaan dunia seisinya. Maka, mustahil wajah dimaknai secara harfiyah. Sebab, yang kekal itu bukan hanya “wajah Allah”, tapi Allah. Jelas bahwa wajah Allah yang dimaksud di sana adalah Allah itu sendiri. Ini pendapat jumhur.
  3. Ini bukan takwil terhadap sifat Allah, melainkan ta’wil terhadap lafadz Al Qur’an sesuai Bahasa Arab. Sebab, kita sudah menetapkan bahwa tema ayat bukan membahas soal “anggota badan” Allah, melainkan soal sifat kekekalan Dzat Allah yang dikemas oleh Al Qur’an dengan salah satu uslub yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab.
  4. Adalah kelompok Wahhabi, yang menetapkan bahwa Allah punya dua tangan, telapak kaki,punya pinggang, punya wajah, punya betis, punya jari-jemari tanpa mau memahami konteks penggunaan kata-kata itu dalam kalimat, seraya mengatakan bahwa “Allah punya dua mata yang tidak seperti mata” dst,.Mereka menetapkan masalah ini sebagai prinsip dalam aqidah. kemudian memusuhi siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka, tidak mau duduk satu majelis dengan mereka, dan menyebut mereka semua sebagai ahlul ahwaa wal bida’ (ahli hawa dan bid’ah), tidak mengikuti sunnah dan salaf, sesat, dan perkataan buruk lain. Padahal tujuan Al Qur’an diturunkan bukan untuk menjelaskan anggota badan Allah (Maha Suci Allah dari yang demikian), bahkan kita tidak dibebani untuk membahas masalah Dzat Allah, maka seseorang tidak akan masuk neraka semata-mata karena tidak pernah masuk dalam pembahasan perihal tangan Allah, betis Allah, mata Allah dan sebagainya.

Random Aswaja News

Total Tayangan Halaman