Menyingkap kedustaan Wahabi terhadap Imam Sya'fi'i

19.41
Wahabi mengklaim bahwa Imam Syafi'i RA berkata: '' perkataan tentang AS-sunah yg aku pegang dan aku mElIhAt sAhAbAt-SAHABATku berpegang pAdanya, jUgA pegangan ahli hadis yANg aku mengambil daripadanya sEpErti Imam sufyan,Imam malik dan sElainnya yaitu iqrar bAhwA tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhamad saw utusan Allah,dan sesungguhnya Allah taala diatas arasny, di atas langitnya,DIA mendekat pAdA hambanya sEkehendaknya dan sesungguhnya Allah tUrun ke langIt pertama sEkEhEndAknya -Imam Syafi'i red.


BANTAHAN : kEnApa mErEka mengambil hal aqidah dENgAn ucApAn ROWI pemalsu dan pendusta ??? dan mereka mengkritik kEpAda g0l0ngan lain kArEna mengambil hadis doif dAlAm hal yANg DIPERBOLEHKAN yaitu mAsAAlh fadLo'il amal ???



SEkArANg KIta buktikAn bAhwA apa yANg diklaim wahabi terhadap imam syafi'i adAlAh kEdustaan murni,dan fitnah tErhAdAp imam syafi'i RA, kArEnA riwayat perkAtaan beliau di atas di ambil dari para pemalsu DAN pembohng riwayat, perkataan Imam syafi'i tErsEbUt dApAt dilIhAt dAlAm kItAb: 

MUKHTASOR AL ULUW HAL 176,IJTIMA JUYUS ISLAMIYAH KARYA IBNULQOYIM, DENGAN riwayat DARI syaikh islam abu hasan alhakari dan abu muhamad Almaqdisi dENgAn sanadnya kEpAdA abi tsaur dan abi syuaeb yANg keduanya MENERIMA dari imam muhamad bin idris as syafi'i yANg mana beliAu berkata; (sprt ditulis diatas). 
kita CEK sanadnya...........!!!!

1. abul hasan alhakari;
  • bErkAta alhafid ad dZahabi: sAlAh seorANg pemalsu dan pendusta(mizan i'tidal juz 3/112) 
  • bErkAta ibnu hajar al asqolani: suka memalsu riwayat dan susunan sanad (lisanul mizan 4/159) 
  • bErkAta syAeKh ibrohim bin muhamad bin sibti bin al ajami abul aufa al halabi :ia pemalsu hadis(al kasyful hadis 1/184) 
2. abu syuaib:

CATATAN: wahabi mengira bAhwA abU syuaib menErIma RIWAYAT tErsEbUt LANGSUNG dari Imam syafi'i',Padahal BELIAU LAHIR SETELAH IMAM SYAFI'I WAFAT 2 TAHUN SEBELUMNYA (tarikh albagdadi 9/436) 

Adapun tEntANg RIWAYAT YANG MIRIP DENGAN REDAKSI DI ATAS yANg DIRIWAYATKAN OLEH ABI THALIB AL ASYARI DAN disandarkan pAdA imam syafi'i RA,yANg ada dAlAm kItAb:
  • thobaqot abi ya'la juz 1 hal 283
  • ijtima juyus islamiyah hal 165 
RIWAYAT itu tIdAk s0hEH disanadkan pd imam syafi'i kArEna dAlAm sanadnya ada;
  1. Abul izzi ahmad bin ubaedilah bin kadasy, DAN TERNYATA Dia seorang pembohong DAN pEmalsu :

  • bErkAta imam dZahabi bAhwA ibnu kadas yAItU abul izzi bin kadasy ahmad bin ubaidillah wft 526 H tErmAsuk sAhAbAt al asyari,DIA adalah pEmalsu (mizan i'tidal 1/118) ,BELIAU JUGA mengatakAn: DIA tElah BERdusta tEntANg aqidah yg di sandarkAn KEpAdA Imam syafi'i (mizan i'tidal 3 /656) 
  • brkta ibnu hajar;doif dAlAm riwayat dan tIdAk bIsA dipake hujah (lisanul mizan juz 1/208) 
ADAPUN abu thalib al asyari;
  • bErkAta IMAM IBNU HAJAR DENGAN MENUQIL DARI AD DZAHABI BAHWA ABU THALIB AL ASYARI SEORANG SYAEH YG JUJUR TAPI TERKONTAMINASI DENGAN SESUATU HAL SEHINGGA MERIWAYATKAN HADIS PALSU TENTANG KEUTAMAAN MALAM ASYURA,DAN JUGA RIWAYAT TENTANG AQIDAH IMAM SYAFI'I(LISANUL MIZAN 5/301)

NAH HATI2 LAH KALIAN TERHADAP KAUM MUJASIMAH KARENA WATAK MEREKA ADALAH MENGAMBIL PENADAPAT YANG SESUAI HAWA NAFSUNYA WALAU PUN MESTI BERDUSTA DAN BERBUAT BATIL, DAN BERDALIL DGN UCAPAN PARA PEMALSU DAN PENDUSTA APALAGI DALAM HAL AQIDAH.



ADAPUN UCAPAN IMAM SYAFI'I YANG SOHEH ADALAH MENSUCIKAN ALLAH TA'ALA DARI JISMIYAH DAN SIFAT JISIM.

LIHAT KETIKA BELIAU DITANYA TENTANG ISTIWA: AKU BERIMAN DENGAN AYAT ISTIWA TANPA MENYERUPAKAN, DAN AKU MEMBENARKAN TANPA MENGGAMBARKAN, DAN AKU MENAHAN DIRI DARI MEMBAHASNYA SECARA MUTLAK (RIWAYAT IMAM AHMAD ROFI'I DALAM ALBURHAN MUAYAD HAL 24)
LIHAT IMAM SYAFI'I CUMA MEMBERJALANKAN LAFADNYA, ARTINYA CUKUP IMAN PADA LAFAD ISTIWA, BUKAN MENTAFSIR ATAU MENTERJEMAH,BILA MEMANG BOLEH MENGAMBIL MAKNA DOHIR, MENGAPA BELIAU REPOT-REPOT MENGATAKAN CARA MENANGANI AYAT TERSEBUT,YAITU TDK MENGGAMBARKAN DAN TDK MENYERUPAKAN,JUGA TDK MEMBAHASNYA..
DAN BELIAU JUGA BERKATA: AKU BERIMAN DGN APA YANG DATANG DARI ALLAH SESUAI DGN APA YANG DI MAKSUD  OLEHNYA  JUGA IMAN DGN APA YG DATANG DARI RASUL SESUAI DGN APA YANG DI MAKSUD  OLEHNYA (KITAB DAF'U SYUBHAH MAN SYABBAHA WA TAMAROD KARYA IMAM TAQYUDDIN ALHISNI HAL 56)

LIHAT IMAM MENGATAKAN IMAN SESUAI  DGN APA YANG DI MAKSUD  OLEH ALLAH DAN RASUL, ARTINYA TAFWIDL: MENYERAHKAN MAKNANYA KEPADA ALLAH......!! BUKAN BERPEGANG DGN MAKNA DOHIR.............!

DAN BERKATA IMAM SYAFI'I: SESUNGGUHNYA ALLAH ADA SEBELUM ADA TEMPAT, LALU MENCIPTAKAN TEMPAT, DAN DIA TETAP DALAM KEADAAN SEBELUM MENCIPTAKAN TEMPAT, TIDAK TERKENA PERUBAHAN DALAM DZATNYA DAN TIDAK MENERIMA PERGANTIAN DLM SIFATNYA (ITHAF SADATUL MUTAQIN JUZ 2/24)

KETIKA BELIAU DITANYA TENTANG SIFAT ALLAH, BELIAU MENJAWAB: TIDAK TERBATAS ANGAN, TIDAK BISA DITETAPKAN OLEH SANGKAAN DAN TIDAK TERCAPAI OLEH NALAR, DAN TIDAK TERBERSIT OLEH BISIKAN DAN TIDAK TERLIPUT KECUALI APA YG DISIFATKAN OLEH DIA PADA DZATNYA MELALUI LISAN NABINYA SAW (DISBUTKAN OLEH IBNU JAHBAL DLM RISALAH TOBAQOT SYAFI'IYAH KUBRO 9/40)

NAH SMUA INI MENUNJUKAN BAHWA IMAM SYAFI'I MENAFIKAN MAKNA JISIM DAN SIFAT JISIM SEPERTI TEMPAT,ARAH, RUANG, GERAK, DIAM DLL..
JAZALLOHU ANHU WA AN NABIYINA MUHAMAD MA HUWA AHLUHU..AMIIN.
Read On 0 komentar

Mengabaikan Keberadaan Majaz Dalam Memahami Al Qur’an

19.40
Terdapat satu permasalahan,mengabaikan sebagian jenis makna lafadz yang biasa digunakan oleh Bangsa Arab (yaitu makna majaz) dan hanya mau berpegang kepada sebagian jenis makna yang lain (yaitu makna denotatif/ haqiqoh lughowiyah) dalam memahami Al Qur’an akan menimbulkan dua macam bencana:

  1. Mereka terjerumus ke dalam dosa karena tidak memahami Al Qur’an dengan Bahasa Arab,padahal Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Alasannya karena hanya mau berpegang kepada satu jenis makna yang digunakan oleh orang Arab, seraya enggan menggunakan jenis makna yang lain, sama artinya dengan tidak menggunakan Bahasa Arab dalam memahami Al Qur’an. Yang demikian itu bertentangan dengan kenyataan bahwa Al Qur’an adalah Kitab yang berbahasa Arab.
  2. Mereka terjebak ke dalam kekacauan ketika memahami beberapa ayat Al Qur’an karena tidak mau mengakui sebagian jenis maknanya. Ketika mereka membaca Firman Allah SWT Amat besar penyesalanku atas apa yang aku lalaikan dalam pinggang Allah (janbuLlaah). (TQS Az Zumar ayat 56) serta Firman Allah :dan kekallah wajah Tuhanmu (TQS Ar Rahman ayat 27) sementara mereka membatasi diri dalam memahami lafadz janbun (pinggang) dan wajhun (wajah) dengan makna denotatif, maka pemahaman mereka akan kacau, karena makna denotatif yang ciptakan oleh Bangsa Arab untuk lafadz-lafadz tersebut adalah pinggang dan wajah yang telah dikenal. Padahal Allah Maha Suci dari makna hakiki yang dikehendaki oleh Bangsa Arab untuk kedua lafadz tersebut, sebab Allah itu tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya (TQS Sy Syuro ayat 11). Oleh karena itu, mereka terjatuh dalam kebingungan, kemudian dalam menafsirkannya mereka berkata jambullaah adalah pinggang Allah yang tidak seperti pinggang dan wajhullaah adalah wajah Allah yang tidak seperti wajah.
Penafsiran terhadap lafadz “janbun” dan “wajhun” yang demikian itu merupakan penafsiran yang tidak mengacu kepada Bahasa Arab. Sebab, mereka tidak menafsirkannya dengan makna hakiki yang diciptakan oleh Bangsa Arab untuk lafadz tersebut, mereka juga tidak menafsirkannya dengan makna urfiyah yang dikenal oleh Bangsa Arab untuk lafadz tersebut, dan mereka juga tidak menafsirkannya dengan majaz atau kinayah yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab. Mereka justru berkata: “pinggang artinya pinggang yang tidak seperti pinggang; dan wajah artinya wajah yang tidak seperti wajah. Ini menunjukkan bahwa mereka sendiri mengakui bahwa lafadz-lafadz dalam ayat tersebut tidak digunakan dengan makna hakiki sebagaimana yang buat oleh Bangsa Arab. 
  Namun, alih-alih mereka menafsirkannya dengan makna majazi yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab, anda justru melihat bahwa mereka membuat makna baru untuk lafadz-lafadz tersebut yang tidak dikenal dalam Bahasa Arab. Kata wajah, misalnya,dalam Bahasa Arab biasa digunakan merujuk kepada wajah yang dikenal secara denotatif, dan kadang juga digunakan oleh Bangsa Arab merujuk diri seseorang, artinya mereka menggunakan ungkapan “wajah” untuk menyebut “diri seseorang”,maksudnya adalah dzatnya, secara majaz. Akan tetapi, orang Arab tidak pernah menggunakan kata wajah dalam arti “wajah, tapi tidak seperti wajah”. Padahal Al Qur’an berbahasa Arab, maka ayat-ayat dan kata-katanya seharusnya ditafsirkan dengan Bahasa Arab.
Seandainya mereka mau melakukan hal yang demikian itu, serta mau melakukan penelaahan, niscaya mereka akan menjumpai bahwa Bangsa Arab juga menggunakan kata janbun (pinggang) secara majaz. Orang Arab sering mengatakan haadzal amru yashghuru fii janbi haadzaa (urusan ini menempel pada pinggang ini) yaitu melekat kepadanya apabila ia berkaitan dengannya. Atas dasar itu, makna ayat yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (Az Zumar ayat 56), adalah dalam apa yang ada di antara aku dan Allah, apabila aku lekatkan pengabaianku kepada apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan apa yang menjadi laranganNya untukku. Di antara yang menggunakan makna ini adalah hadits Rasulullah saw, kullush shoidi fii janbil faroo, atau jaufil faroo setiap buruan ada di pinggang atau di lambung keledai liar maksudnya, setiap binatang buruan itu terkait dengan keledai liar apabila dikiaskan dan didekatkan dengannya.
  Begitu juga dengan juga kata“wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: jaa’a wajhul qoumi telah datang wajah kaum. Dengan demikian, ayat (yang artinya) dan kekallah wajah Tuhanmu (tQS Ar Rahman ayat 27) makna wajah dalam konteksitu artinya adalah Dzaat Allah Ta’ala[2], Tidak bisa dikatakan bahwa ini merupakan bentuk takwil yang jauh dari makna yang dikehendaki[3]. Tidak bisa dikatakan demikian karena orang Arab telah menggunakan makna tersebut dalam pembicaraan mereka. Dengan demikian, Bahasa Arab tidak menolak makna tersebut, karena suatu kalimat itu mungkin dimaknai secara hakekat dan bisa jadi pula secara majaz. Terlebih lagi, setiap muslim meyakini bahwa Allah Ta’aalaa Maha Suci dari “jambun/pinggang” dan “wajhun/wajah” menurut makna hakiki yang dibuat oleh Bangsa Arab. Dengan kata lain, di sini penerapan makna hakiki jelas terhalang, oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah makna majazi yang juga digunakan oleh orang Arab, dan ditafsirkan dengan penafsiran yang sesuai denganNya, sebab Aqidah Islam memastikan bahwa Allah jalla Jalaaluhu tidak memiliki wajah sesuai hakekat lughowiyah seperti wajah kita, dan Dia juga tidak memiliki pinggang menurut hakekat lughowiyah seperti pinggang kita, sebab Allah Maha Suci dari penyerupaan dan permisalan, Allah berfirman (artinya) Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya (TQS Asy Syuroo ayat 11). 
 Maka dalam kondisi demikian itu ada dua kemungkinan:
  1. lafadz itu ditafsirkan dengan Bahasa Arab sehingga yang digunakan adalah makna majaz, sehingga dikatakan bahwa wajah yang dimaksud adalah permisalan yang merujuk kepada Dzat Allah yang Maha Suci.
  2. Atau ditafsirkan dengan tidak menggunakan Bahasa Arab, sehingga kita berkata “wajah yang tidak seperti wajah“, seolah-olah orang yang mengatakan demikian itu malu untuk mengatakan “aku tidak tahu” (sebab wajah yang tidak seperti wajah itu secara bahasa tidak disebut wajah. Dengan demikian, ayat ini menjadi tidak punya makna yang dapat dipahami dan diamalkan -pent).


Demikianlah, sesungguhnya orang yang menyatakan bahwa seluruh lafadz yang digunakan oleh bangsa Arab semuanya bermakna hakiki, atau orang yang menetapkan keberadaan makna majaz di dalam bahasa namun mengingkari keberadaannya di dalam Al Qur’an, sehingga ketika memaknai Al Qur’an, mereka hanya menggunakan satu jenis makna seraya mengabaikan jenis makna lain yang ada di dalam Bahasa Arab. Itu semua lebih parah dari pelanggaran mereka terhadap nash Al Qur’an (Al Qur’an) ini Bahasa Arab yang nyata (TQS An Nahl), sementara mereka tidak berpegang kepada Bahasa Arab dalam memahaminya.
  Saya mengatakan lebih parah dari itu, karena mereka telah menyibukkan umat islam dalam permasalahan yang membuat mereka terpecah-pecah, sehingga hampir-hampir setiap kelompok mengkafirkan kelompok yang lain sedang mereka tidak sadar. Seandainya mereka memperhatikan aspek- aspek penunjukkan bahasa, niscaya perpecahan itu tidak terjadi sehingga mereka tidak saling bermusuhan dan tetap menyembah Allah sebagai satu saudara[4].

  Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan seorang ahli bahasa nomor satu, Ibnu Jinni, yang berkata: jalan untuk memecahkan masalah itu adalah bahwa sebagian besar dari bahasa ini berjalan dengan makna majaz, sebagian kecil darinya keluar menuju makna hakiki, sedangkan kaum yang diajak bicara dengan bahasa itu merupakan manusia yang paling mengenal akan keluasan madzhab-madzhabnya dan arah-arah penyebarannya, pembicaraan mereka dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi adat dan kebiasaan dalam bahasa itu, dan mereka memahami maksud perkataan orang yang berbicara kepada mereka dengan bahasa tersebut berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan mereka dalam menggunakannya. Oleh karena itu, mereka memiliki aqidah yang shohih, amal-amal mereka ikhlash untuk Allah, urusan mereka berjalan secara istiqomah, sementara kondisi mereka dalam keadaan yang baik, mereka itu adalah orang-orang yang hidup pada masa Rasulullah shollallaahu alaihi wa sallam dan para shohabat ridhwanullah alaihim, di atas jalan yang cerah, yang memiliki malam seterang siangnya, tidak menyimpang darinya keculai orang yang celaka, tidak menjauhinya kecuali orang yang sesat.

  1. Dikutip dan di indonesiakan dari bagian muqodimah kitab AtTaisiir fii Ushuulit Tafsiir karya Atho’ Abu Rusytah, halaman 27 sampai halaman 29. Catatan kaki oleh penterjemah [1 Ramadhan 1431 H]
  2. Menurut saya, dalil menentukan pemilihan makna majaz ini adalah konteks pembicaraan (siyaqul kalam) ayat ini.Ayat ini bukan ingin menjelaskan perihal anggota badan Allah Maha Suci Allah dari yang demikian-. Pada ayat ke-26 Allah berfirman kullu man ‘alaihaa faahin” segala yang ada di atasnya akan binasa, yakni ayatini bicara soal ketidak-kekalan alam dan seluruh makhluq. Lalu Dia berfirman wa yabqoo wajhu Rabbika sementara wajah Tuhanmu kekal. Konteks pembicaraannya jelas perbandingan antara Allah dan makhluqnya, alam semesta itu fana dan tidak kekal, sedangkan wajah Tuhanmu itu kekal. Jadi topiknya adalah masalah kekekalan Allah dan kefanaan dunia seisinya. Maka, mustahil wajah dimaknai secara harfiyah. Sebab, yang kekal itu bukan hanya “wajah Allah”, tapi Allah. Jelas bahwa wajah Allah yang dimaksud di sana adalah Allah itu sendiri. Ini pendapat jumhur.
  3. Ini bukan takwil terhadap sifat Allah, melainkan ta’wil terhadap lafadz Al Qur’an sesuai Bahasa Arab. Sebab, kita sudah menetapkan bahwa tema ayat bukan membahas soal “anggota badan” Allah, melainkan soal sifat kekekalan Dzat Allah yang dikemas oleh Al Qur’an dengan salah satu uslub yang biasa digunakan dalam Bahasa Arab.
  4. Adalah kelompok Wahhabi, yang menetapkan bahwa Allah punya dua tangan, telapak kaki,punya pinggang, punya wajah, punya betis, punya jari-jemari tanpa mau memahami konteks penggunaan kata-kata itu dalam kalimat, seraya mengatakan bahwa “Allah punya dua mata yang tidak seperti mata” dst,.Mereka menetapkan masalah ini sebagai prinsip dalam aqidah. kemudian memusuhi siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka, tidak mau duduk satu majelis dengan mereka, dan menyebut mereka semua sebagai ahlul ahwaa wal bida’ (ahli hawa dan bid’ah), tidak mengikuti sunnah dan salaf, sesat, dan perkataan buruk lain. Padahal tujuan Al Qur’an diturunkan bukan untuk menjelaskan anggota badan Allah (Maha Suci Allah dari yang demikian), bahkan kita tidak dibebani untuk membahas masalah Dzat Allah, maka seseorang tidak akan masuk neraka semata-mata karena tidak pernah masuk dalam pembahasan perihal tangan Allah, betis Allah, mata Allah dan sebagainya.
Read On 1 komentar

Jika Allah ada tanpa arah & tempat = tidak ada ???

19.37
Jika Allah ada tanpa tanpa tempat dan tanpa arah berarti sama dengan menafikan wujud Allah. Kemudian dari kesesatan mereka ini, mereka menarik kesimpulan sesat lainnya, mereka berkata: Pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak di dalam alam ini, juga tidak di luar alam ini adalah pendapat yang sama saja dengan nmenafikan wujud Allah. Cukup untuk membantah kesesatan mereka ini dengan mengatakan bahwa Allah bukan benda; Dia bukan benda berbentuk kecil juga bukan benda berbentuk besar. Dan oleh karena Dia bukan benda maka keberadaan-Nya dapat diterima bahwa Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Tidak dikatakan bagi- Nya di dalam alam ini, juga tidak dikatakan bagi-Nya di luar alam ini. Inilah keyakinan yang telah ditetapkan oleh para ulama terkemuka dikalangan Ahlussunnah dari empat madzhab. Dan inilah pula keyakinan kaum Asy’ariyyah dan kaum al-Maturidiyyah sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, di mana mereka telah menetapkan keyakinan tentang kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya, yang didasarkan kepada firman-Nya dalam QS. asy-Syura: 11. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah dengan semua sifat-sifat-Nya sama sekali tidak sama dengan makhluk-Nya. Sifat-sifat makhluk seperti; baru,gerak, diam, berkumpul,berpisah, bertempat ,menempel dengan alam,terpisah dari alam, dan lainnya, ini semua adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah.
  Al-Imâm al-Hâfizh Ibn al Jawzi al- Hanbali dengan sangat tegas mengatakan bahwa Allah tidak boleh di sifat dengan menempel atau terpisah dari sesuatu
  Simak tulisan beliau berikut ini: Bila ada yang berkata bahwa menafikan arah dari Allah sama saja dengan menafikan keberadaan Nya, kita jawab kesesatan ini: Jika kalian berpendapat bahwa segala yang ada itu harus menerima sifat menempel dan terpisah maka pendapat kalian ini benar, namun demikian bahwa Allah mustahil dari sifat menempel dan terpisah juga benar dan dapat diterima. Jika mereka berkata: Kalian memaksa kami untuk menetapkan sesuatu yang tidak dapat dipahami!, kita jawab: Jika kalian bermaksud dengan sesuatu yang dapat dipahami itu adalah adalah sesuatu yang dapat dikhayalakan dan digambarkan oleh akal, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tidak boleh dibayangkan seperti itu karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Sesungguhnya, segala apapun yang dikhayalkan dan digambarkan oleh akal pastilah merupakan benda yang memiliki warna dan memiliki ukuran, karena khayalan dan gambaran akal itu hanya terbatas pada segala sesuatu yang diindra oleh mata. Khayalan dan gambaran akal ini tidak dapat membayangkan apapun kecuali segala apa yang pernah diindra oleh mata karena gambaran adalah buah dari penglihatan dan indra. Kemudian jika mereka berkata bahwa pemahaman tersebut tidak dapat diterima oleh akal, maka kita jawab: Telah kita jelaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah dapat diterima oleh akal.
Dan sesungguhnya akal sehat itu tidak memiliki alasan untuk menolak terhadap sesuatu yang logis. Ketahuilah, ketika anda tidak dapat meraih apapun dalam pikiran anda kecuali sesuatu yang pasti merupakan benda atau sifat-sifat benda maka dengan demikian secara logis nyatalah akan kesucian Allah dari dari menyerupai makhluk-Nya. Dan jika anda mensucikan Allah dari segala apa yang ada dalam pikiran dan bayangan anda maka seharusnya demikian pula anda harus mensucikan adanya Allah dari tempat dan arah, juga mensucikan-Nya dari perubahan atau berpindah-pindah(Lihat al- Bâz al-Asyhab, h. 59).
  Dalam pembahasan ini, setelah penjelasan yang sangat luas, asy-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami berkata sebagai berikut: Karena itu al-Ghazali mengatakan bahwa keharusan dari sesuatu yang memiliki sifat menempel dan terpisah adalah bahwa sesuatu tersebut pastilah merupakan benda dan pasti membutuhkan kepada tempat. Dan dua hal ini; menempel dan terpisah tentunya tidak boleh dinyatakan bagi Allah karena Dia bukan benda.
CONTOHNYA seperti benda keras (al-jamâd; semacam batu) tidak kita katakan bahwa BATU itu pintar juga tidak kita katakan bahwa BATU itu bodoh, karena tuntutan dari adanya sifat ilmu adalah keharusan adanya sifat hidup.
 Dan jika sifat hidup itu tidak ada PADA(batu tersebut) maka secara otomatis dua hal tersebut; yaitu pintar dan bodoh juga dinafikan dari BATU (lihat al- I’lâm Bi Qawâthi’ al-Islâm pada tulisan pinggir (hâmisy) kitab al- Zawâjir, j. 2, h. 43-44). DAN ALLAH BUKAN BENDA MAKA TIDAK SAH DIKATAKAN DI DALAM ALAM ATAU DILUAR ALAM.
Penulis kitab ad-Durr ats-Tsamîn Wa al-Maurid al-Mu’în, seorang alim terkemuka, yaitu asy Syaikh Muhammad ibn Ahmad Mayyarah al-Maliki, menuliskan sebagai berikut: al-Imâm al-’Alim Abu Abdillah Muhammad ibn Jalal pernah ditanya apakah Allah tidak dikatakan di dalam alam ini juga tidak dikatakan di luarnya? yang bertanya ini kemudian berkata: Pertanyaan ini; yaitu Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam telah kami dengar dari beberapa guru kami. Ada sebagian orang yang menyanggah hal ini dengan mengatakan bahwa pernyataan tersebut sama juga menafikan dua keadaan yang berlawanan.
  Ada pula sebagian orang yang mengatakan bahwa Dia Allah adalah segala sesuatu dalam pengertian bahwa Allah menyatu dengan alam. Pendapat terakhir ini disebut-sebut sebagai pendapat al-Imâm al-Ghazali. Ada pula pendapat sebagian orang menyatakan bahwa pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang rancu dan sia-sia, serta tidak layak dipertanyakan demikian bagi Allah. Kemudian Ibn Miqlasy disebutkan bahwa ia menjawab demikian atas pertanyaan tersebut, artinya bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam, sebagaimana ia tuliskan dalam syarh-nya terhadap kitab al-Risâlah. Kemudian al-Imâm Ibn Jalal menjawab: Akidah yang kita nyatakan dan yang kita pegang teguh serta yang kita yakini sepenuhnya ialah bahwa Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam. Dan sesungguhnya merasa tidak mampu dan merasa lemah untuk meraih Allah maka itu adalah keyakinan yang benar. Keyakinan ini didasarkan kepada dalil-dalil yang sangat jelas baik dengan dalil akal, maupun dalil naql. 
  Adapun dalil naql adalah al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah berfirman bahwa Dia Allah sama sekali tidak menyerupai suatu apapun (QS. asy-Syura: 11). Jika Allah dikatakan berada di dalam alam atau berada di luar alam maka akan banyak yang serupa bagi-Nya. Karena jika Allah berada:
  1. di dalam alam maka berarti Allah adalah bagian dari jenis-jenis alam itu sendiri, dan bila demikian maka berarti Allah wajib memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang wajib dimiliki oleh setiap bagian alam tersebut (seperti punah, berubah dan lainnya)
  2. jika dikatakan bahwa Allah berada di luar alam maka hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan:
  • A ) bisa jadi Dia menempel dengan alam tersebut
  • B ) bisa jadi Dia terpisah dari alam tersebut.
  Dan bila ALLAH terpisah (DILUAR ALAM) maka hal itu menuntut adanya jarak antara keduanya, baik jarak yang terbatas atau jarak yang tidak terbatas. Dan keadaan semacam ini sama saja menuntut adanya Allah membutuhkan kepada yang mengkhususkan (TEMPAT DAN RUANG LAGI) dalam keadaan tersebut.
  Adapun dalil dari hadis adalah sabda Rasulullah: Allah ada tanpa permulaan, dan tidak ada suatu apapun bersama-Nya. (HR al-Bukhari dan lainnya).
  Sementara dalil dari Ijma’ ialah bahwa seluruh Ahl al-Haq telah sepakat bahwa Allah ada tanpa arah. Tidak boleh dikatakan bagi- Nya di atas, di bawah, di samping kanan, di samping kiri, di depan atau di belakang.
Adapun dalil secara akal maka telah sangat jelas bagi anda pada pembahasan di atas dalam makna dari firman Allah QS. asy- Syura: 11.
  Adapun pendapat yang menyanggah pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam karena sama saja dengan menafikan-Nya adalah pendapat yang tidak benar.,Karena sesungguhnya sesuatu yang tidak bisa diterima keberadaannya kecuali dengan adanya salah satu keadaan yang berlawanan (seperti bila tidak di luar, maka ia di dalam) hanya berlaku bagi sesuatu yang terikat oleh SALAH SATU DARI dua keadaan tersebut saja. Adapun sesuatu yang tidak disifati dengan SALAH SATU DARI dua keadaan tersebut maka hal itu bisa diterima, dan dua keadaan tersebut tidak dikatakan saling bertentangan. CONTOH bila dikatakan tembok ini tidak buta juga tidak melihat, maka pernyataan semacam ini tidak dikatakan saling bertentangan, karena dua keadaan yang bertentangan (TIDAK BUTA DAN TIDAK MELIHAT) tersebut tidak berlaku bagi tembok. Maka demikian pula ketika kita katakan bagi Allah bahwa Dia tidak di atas, juga tidak di bawah, atau semacamnya, itu semua bisa diterima oleh akal.
  Adapun pendapat yang mengatakan bahwa Allah adalah segala sesuatu dari komponen alam ini, seperti yang dituduhkan kepada al-Ghazali, maka ini adalah pendapat yang berasal dari kaum filsafat yang belakangan diambil sebagai faham oleh beberapa kelompok kaum sufi gadungan. Dan pernyataan semacam ini jauh dari kebenaran. Adapun pendapat yang menuduh bahwa pernyataan Allah tidak di dalam alam juga tidak di luar alam sebagai pernyataan yang rancu dan sia-sia serta perkara yang tidak layak dipertanyakan bagi Allah, maka pendapat ini tidak bisa diterima karena telah jelas dalil-dalilnya seperti yang telah dibahas. Dan seandainya benar pendapat Ibn Miqlasy seperti ini,namun demikian ia tidak patut dijadikan rujukan dalam hal ini karena dia bukanlah seorang yang ahli seperti layaknya kaum teolog (dari kalangan Ahlussunnah). Dan sesungguhnya, memang banyak dari antara para ulama fiqih yang tidak benar-benar mumpuni dalam masalah teologi ini, terlebih lagi sangat mendalam dengan sedetailnya (Lihat ad-Durr al- Tsamîn, h. 24-25).

 Pernyataan bahwa Allah tidak di dalam alam dan tidak di luar alam juga telah diungkapkan oleh salah seorang pimpinan kaum teolog di kalangan Ahlussunnah, yaitu al- Imâm Abu al-Mu’ain an-Nasafi, demikian pula telah disebutkan oleh asy-Syaikh al-Qunawi, al-Allâmah asy-Syaikh al- Bayyadli, dan para ulama terkemuka lainnya. (Lihat Isyârât al-Marâm

Min’Ibârât al-Imâm, h. 197-198).
  Al-Hâfizh asy-Syaikh Abdullah al- Harari menuliskan: Setelah adanya penjelasan yang sangat terang ini maka janganlah engkau tertipu dengan kesesatan kaum Mujassimah hingga mereka memalingkanmu dari akidah tanzîh kepada akidah tasybîh. Biasanya mereka berkata:”Pernyataan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa bentuk, tidak menempel dengan

alam atau tidak terpisah dari alam adalah pendapat yang sama sekali tidak bisa dipahami. Kita katakan kepada mereka: Di antara makhluk saja ada sesuatu yang wajib kita percayai keberadaannya, padahal sesuatu tersebut tidak dapat kita bayangkan. Tetapi demikian, akal kita menetapkan keberadaan sesuatu tersebut. Yaitu adanya satu waktu sebelum diciptakannya cahaya dan kegelapan. Sesungguhnya, cahaya dan kegelapan adalah makhluk Allah, sebelumnya tidak ada, lalu kemudian menjadi ada karena diciptakan oleh Allah, seperti dalam berfirman-NyA:Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala kegelapan dan cahaya (QS. al-An’am: 1).

  Dengan ayat ini kita wajib beriman bahwa kegelapan dan cahaya adalah makhluk Allah. Ini artinya kita wajib meyakini bahwa ada suatu waktu; di mana Allah belum menciptakan kegelapan dan belum menciptakan cahaya. Dalam hal ini akal manusia tidak akan bisa membayangkan adanya suatu waktu yang di dalamnya tidak ada kegelapan juga tidak ada cahaya. Jika pada makluk saja ada sesuatu yang harus kita percayai semacam ini yang tidak dapat digambarkan dan dibayangkan oleh akal maka terlebih lagi tentang Allah. Artinya, jika keberadaan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dapat diterima oleh akal, maka demikian pula dapat diterima jika Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal; bahwa Dia ada tanpa bentuk, tanpa tempat, tanpa arah, tidak menempel atau di dalam alam dan juga tidak di luar alam. Bahkan adanya Allah tidak dapat dibayangkan oleh akal harus lebih diterima dibanding waktu yang tidak ada kegelapan dan cahaya di dalamnya tersebut. Karena waktu tersebut adalah makhluk, sementara Allah adalah Khâliq, dan Dia sendiri telah berfirman dalam QS. asy-Syura: 11 bahwa Dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya (Lihat Sharîh al- Bayân Fî ar-Radd ’Alâ Man Khâlaf al-Qur’ân, J. 1, h. 107).
  Ingat, Aqidah Rasulullah, para sahabat, dan mayoritas umat Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah bahwa ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH...........!!!
DISARIKAN DARI KITAB BANTAHAN MUJASIMAH KARYA SYAIKH ABU HAMID BIN MARJUQI CET MAKTABAH ALHAQIQAT ISTAMBUL.
Read On 0 komentar

KESALAHFAHAMAN ORANG YG MEMISAHKAN ANTARA RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH

19.36
Telah di tetapkan secara nas dan secara aqal  bahwa seseuatu yg disifati dgn sifat rububiyah, maka sesuatu itu  layak UNTUK di sembah,dan sesuatu yg tdk di sifati dengan  rububiyah, maka tdk layak untuk di sembah,oleh sebab itu maka adanya sifat rububiyah itu melazimkan   kelayakan untuk disembah dan merupakan [talazum] tidak bs dipisahkan menurut syariat allah dan menurut aqal manusia.

Dgn dasar keyakinan adanya sifat rububiyah pada berhala, maka musrikin menyembah berhala di samping MEREKA meyakini rububiyah kepada Allah juga,itulah sebab kesyirikan mereka yakni meyakini ada rububiyah kepada  selain Allah juga yg berdampak pada menyembahnya. oleh sebab itu,Jika tdk ADA KEYAKINAN sifat rububiyah kepada selain Allah di hati mereka, maka tdk AKAN ada penyembahan mereka kepada selain allah. Selagi musrikin meyakini ada sesuatu selain allah yg punya sifat rububiyah,maka selama itu pula mereka tdk akan bisa mentauhidkan menyembah hnya kepada allah saja, oleh sebab itu maka  rububiyah dan uluhiyah [menyembah] itu talazum (saling keterkaitan) tdk bs dipisahkan antara satu sama lain,dalam aqidah atau pun dalam kenyataan.



  Maka pembagian tauhid dengan pemisahan antara uluhiyah dan rububiyah, itu kesalahan yg nyata, karena brang siapa mengakui sifat rububiyah hanya milik Allah  , maka ia akan mengakui bhw tdk ada yg berhaq disembah kecuali allah, Dan brang siapa mengakui bhw tdk ada yg berhaq disembah kecuali  allah,maka ia pun meyakini tdk ada rububiyah selain dariNya. Oleh sebab itu kita bs lht dlm alquran byk ayat-ayat yg hanya menyebtkan salah satunya saja, dgn menyebtkan cuma Robb saja dlm satu ayat, dan hanya menyebutkan ilah saja dlm ayat yg lain,hal itu menjadi bukti bhw kduanya tdk terpisaHkan.
Sifat rububiyah yakni mencipta alam,mengatur,memberi rizqi,membuat syariat, itu semua di sebut sifat husus uluhiyah (kehususan tuhan), dan dgn adanya sifat rububiyah ini maka muncul penyembahan, maka jelaslah dari sini bahwa tauhid uluhiyah yakni mengesakan DALAM PENYembahAN muncul daripada keyakinan adanya rububiyah terhadap yg disembahnya dan keduanya talazum (tidak bisa dipisahkaN). BISAKAH SESEORANG MENYEMBAH B JIKA IA TIDAK MEYAKINI Rububiyah pada B ???

 Maka seseorang tidaklah menyembah sesuatu Ilah kecuali ia meyakini Rububiyah Pada ILAH tsbt,apakah rububiyah scra mutlaq,seperti keyakinan PADA Rububiyah Allah atau sifat rububiyah terbatas yg terikat oleh sesuatu yg memiliki rububiyah mutlak contoh seperti keyakinan rububiyah sebagian besar orang2 musyrikin yg meyakini adanya sesembahan selain allah,mereka menyembah tuhan tuhan selain allah karena beranggapan bhw allah tlah memberikan keleluasaan mutlaq kpd tuhan-tuhan tsbt utk melakukan sebagian urusan ketuhanan ,yakni mereka (tuhan2) punya sifat rububiyah yg terbatas..shgg dgn hal itu, mereka menyembahnya utk mendapatkan pertolongan dan menjauhkan murkanya,.Dengan penjelasan tsbt maka jelaslah bahwa musyrikin meyakini adanya rububiyah pada sesuatu yang di sembahnya [berhala] dan meyakini bhw mereka pun adalah ilah/ tuhan di samping pengakuan mereka terhadap Allah.



Orang-orang yg menyembah berbagai macam tuhan selain Allah ,itu ada beberapa kelompok:


  1. Orang masyrik yg dinyatakan oleh allah dalam ayat: ﺃﻻ ﻟﻠﻪ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺨﺎﻟﺺ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺩﻭﻧﻪ ﺃﻭﻟﻴﺎﺀ ﻣﺎ ﻧﻌﺒﺪﻫﻢ ﺇﻻ ﻟﻴﻘﺮﺑﻮﻧﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺯﻟﻔﻰ: ingatlah hanya kepunyaan Allah lah agama yg bersih,dan orang2 yg mengambil pelindung pelindung selain allah berkata:kami tidak MENYEMBAH mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dgn sedekat2nya (QS AZ ZUMAR 3), Maka kelompok PERTAMA ini adalah dari kalangan musyrikin yg MEYAKINI Allah dan tidak meyakini yg disembahnya (selain allah) mempunyai kesamaan sifat dgn Allah dlm mencipta,mengatur langit dan bumi,memberi rizqi dll,tetapi mereka meyakini bhw allah telah meNJADIKAN APA YG MEREKA SEMBAHAN sebagai perantara antara allah dan mahluknya,dan bhw sesungguhnya tdk sempurna mendekat kepada allah kecuali dgn sarat melalui perantaraannya,dan dgn cara di dekatkan oleh perantara tsbt kepada allah,yakni menjadikan ma'bud bilbatil /yg disembah scra batil (sesuatu selain allah) sebagai perantara kepada ma'bud bilhaq / yg di sembah scra haq (Allah),maka sarat inilah yakni adanya dua ma'bud:yg disembah yg menjadikan SEBAB syiriknya mereka.
  2. orang2 musyrik yg di nyatakan oleh allah dalam ayat: dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yg tdk dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan,dan mereka berkata:mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah,katakanlah apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yg tidak di ketahuiNya baik di langit dan tdk pula di bumi? mahasuci allah dari apa yg mereka mempersekutukan itu (QS yunus 18) Kelompok ini adalah kaum musyrikin yg meyembah tuhan2 (selain allah) dgn tujuan BUKAN utk mendapatkan manfaat dlm urusan dunia mereka atau utk menjauhkan madarat,tetapi mereka menyembahnya karena meyakini bahwa tuhan2 (selain allah) mempunyai syafaat dgn sendirinya tanpa terikat izin dari allah,atau bahwa allah telah memindahkan keleluasaan yg khusus milikNya yakin keleluasaan dalam syafaat kepada tuhan2 tsbt yakni mereka (tuhan yg disembah selain allah) memiliki syafaat dan dapat diberikan sesuai kehendaknya TANPA TERIKAT dgn kehendak allah,penjelasan ini selaras dgn firman allah:---------------------------------------------------------------------------------------------ﺃﻡ ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻔﻌﺎﺀ ﻗﻞ ﺃﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻻ ﻳﻤﻠﻜﻮﻥ ﺷﻴﺌﺎ ﻭﻻ ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ ﻗﻞ ﻟﻠﻪ ﺍﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻟﻪ ﻣﻠﻚ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ ﺛﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﺗﺮﺟﻌﻮﻥ ): bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain allah,katakanlah dan apakah kamu mengambilnya juga meskipun mereka tdk memiliki sesuatu pun dan tdk berakal?.katakanlah hanya kepunyaan Nya kerajaan langit dan bumi kemudian kepadanya lah kamu di kembalikan (QS AZ ZUMAR 43-44] Dalam ayat ini allah membantah mereka dgn dua hal:

  • 1. mereka (tuhan selain allah) tdk memiliki apa2,apakah itu syafaat atau yg lainnya,ini bntahan atas keyakinan mereka bhw tuhan2 (selain allah) memiliki syafaat tanpa adanya izin dari Allah,intinya mereka meyakini rububiyah tuhan2 (selain allah) dgn kepemilikan mutlak akan syafaat,dan yang namanya meimiliki maka bs di gunakan oleh pemiliknya tanpa mesti izin kpda siapa pun.keyakinan inilah yg membuat mereka syirik DGN MENYEMBAH TUHAN2 TSBT.

  • 2. Syafaat semuanya milik Allah maka siapapun bs memberi syafaat dgn iziNya,dan bukan hanya syafaat tetpi semuanya milik allah. maka kelompok ini meyakini adanya kepemilikan safaat pada tuhan2 mereka dan menggunakan sekehendaknya tanpa terbtas dgn kehendak allah.



3. kelompok kaum musyrikin yg meyakini bhw tuhan2 (selain allah) bs memberi manfaat dan madorot dgn independen,dan tuhan2 tsbt dapat menarik kebaikan dan menolak kejelekan dan dapat menolong mereka dlm mengalahkan musuh2 mereka, mereka meyakini bahwa Allah telah memberi kewenangan rububiyah dlm lingkup kecil/terbatas kepada tuhan2 (selain allah), kelompok ini meyakini bhw tuhan mereka (selain allah) mempunyai rububiyah kecil /terbatas yakni menarik kebaikan dan menolak kejelekan,misal menolong utk mengalahkan musuh2 mereka,dgn sebab ini mereka menyembahnya dan menjadikannya tuhan,Allah menyebutkan keyakinan mrka dgn firmannya:

ﻭﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺁﻟﻬﺔ ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﻨﺼﺮﻭﻥ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻌﻮﻥ
ﻧﺼﺮﻫﻢ ﻭﻫﻢ ﻟﻬﻢ ﺟﻨﺪ ﻣﺤﻀﺮﻭﻥ )
mereka mengambil sesembahan selain allah agar mereka mendapat pertolongan (QS YASIN 74) ,Dan firman allah: ﻭﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺁﻟﻬﺔ ﻟﻴﻜﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﻋﺰﺍ ﻛﻼ ﺳﻴﻜﻔﺮﻭﻥ ﺑﻌﺒﺎﺩﺗﻬﻢ ﻭﻳﻜﻮﻧﻮﻥ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺿﺪﺍ ); dan mereka menjadikan sesembahan sesembahan selain allah agar sesembahan2 itu menjadi pelindung bg mereka,sekali2 tidak,kelak sesembahan itu akan mengingkari penyembahan pengikutnya kpdanya dan mereka (sesembahan itu) akan jadi musuh bg mereka (QS MARYAM 81-82) , Ayat ini menunjukan bhw kaum musrikin menjadikan tuhan selain Allah dan menyembahnya,supaya dgn menyembah tuhan2 tsbt,mereka mendapat balasan dgn kekuatan mereka utk mendapat pertolongan dan kemenangan.

Nah 3 bentuk kesyirikan ini adalah merupakan keyakinan mayoritas kaum musrikin jahiliyah,dan terkadang mereka meyakini ketiga bagian tsbt scra bersamaan,atau pun dua bgian dari salah satu 3 poin di atas.



4. Kelompok musrikin yg meyakini sesembahan mereka mempunyai wewenang dan kekuasaan sama seperti Allah dlm mengatur alam dan mencipta sesuatu, kelompok ke 4 ini juga byk diantaranya adalah penyembah berhala, umat nasrani yg menjadikan 3 tuhan, dan orang2 yg mengambil tuhan lbh dari itu,sebagaimana dalam firman allah:: ﺇﻥ ﻧﻘﻮﻝ ﺇﻻ ﺍﻋﺘﺮﺍﻙ ﺑﻌﺾ ﺁﻟﻬﺘﻨﺎ ﺑﺴﻮﺀ : kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila kepadamu (QS HUD 54), Dan kelompok ini mengambil byk robb (tuhan) dan mereka meyakini sesembahan mereka ini punya wewenang mutlak dlm mengatur alam dgn sifat rububiyahnya, terkadang mereka meyakini sesembahan mereka bs masuk pada benda2 dan jasad, atau bisa menjelma jadi manusia.



 Ke empat poin kelompok musrikin diatas, mereka menyembah selain Allah dgn mandiri, dan mereka mentuhankannya atas dasar i'tiqad adanya rububiyah pada sesembahan tsbt,apakah dgn SIFAT rububiyah terbatas yg terikat kepada rububiyah Allah sebagaimana musrikin pada poin 1-3 yg mana ketiga kelompok tsbt merupakan mayoritas musrikin jahiliyah,Atau rububiyah yg sebenarnya dan mutlak seperti keadaan kelompok musrikin no 4.

Dari pnjelasan diatas,maka jelas kesalahan fahaman orang yg menyatakan bahwa musrikin arab dimasa jahiliyah mentauhidkan rububiyah hanya kepada Allah hanya sajai mereka menjadikan sesembahan/ beribadah kepada selain allah dgn menjadikan sekutu Allah yakni (tidak bertauhid uluhiyah), karena sungguh nas-nas quran yg telah di nuqilkan diatas,menjelaskan bahwa mereka meyakini adanya rububiyah pada sesembahan2 mereka,apakah rububiyah yg terbatas ataupun rububiyah mutlaq dan dgn adanya keyakinan rububiyah pada sesembahan mereka, menjadikan mereka menyembahnya dgn tujuan supaya mendapatkan rizqi,pertolongan dan maksud2 dunyawiyah lainnya.



Maka dampak dari kesalahfahaman pemisahkan tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah adalah:
  1. menghususkan pengertian rububiyah dgn mencipta dan mengatur saja, padahal makna rububiyah mencakup seluruh sifat KEhususAN uluhiyah,seperti mincipta,maha cukup,memberlakukan kehendak taqdirnya dll
  2. meyakini musrikin jahiliya mentauhidkan rububiyah kpd Allah, tetapi mereka tdk bertauhid dalam uluhiyah 
  3. menghukumi bahwa mayoritas kaum muslimin sama dgn kaum musrikin jahiliyah yang cuma bertauhid rububiyah dan tidak bertauhid uluhiyahdgn.
  4. DLL..
Read On 0 komentar

ALBANI VS IBNU TAIMIYAH

19.33

Fasal: Ibnu taemiyah memaknai istawa dgn istiqror:menetap di atasy arasyNya,dan Allah pun bisa menetap di atas lalat,dan Al bani menentang makna tsbt dan menganggapnya bid'ah..! Ketahuilah bahwa ibnu taemiyah berkata dgn menetapnya Allah di atas arasy,dan ALbani menentang hal itu dgn berkata: tdk boleh meng'itiqadkan Allah menetap /istiqror.mari kita simak :

Berkata ibnu taemiyah dlm ktb bayan talbis jahmiyah (1 /568);

ﻭﻟﻮ ﻗﺪ ﺷﺎﺀ ﻻﺳﺘﻘﺮ ﻋﻠﻰ ﻇﻬﺮ ﺑﻌﻮﺿﺔ ﻓﺎﺳﺘﻘﻠﺖ ﺑﻪ ﺑﻘﺪﺭﺗﻪ ﻭﻟﻄﻒ ﺭﺑﻮﺑﻴﺘﻪ ﻓﻜﻴﻒ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺵ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﻛﺒﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻻﺭﺽ ، ،ﻓﻜﻴﻒ ﺗﻨﻜﺮ ﺍﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﻔﺎﺝ ﺍﻥ ﻋﺮﺷﻪ ﻳﻘﻠﻪ

ARTINYA: Seandainya sesungguhnya Dia (Allah) kehendaki, niscaya Dia bisa menetap di atas belakang nyamuk, maka bersendirianlah (nyamuk) dengan kekuasaan Allah dan kelembutan Rububiyyah-Nya. Maka bagaimana pula di atas Arasy yang besar,lebih besar dari langit dan bumi?.-PENT.
Tidak akan bisa bagi orang berakal utk mengingkari fakta ini,dan tdk di katakan bhw pernyataan tadi bukan dari ibnu taemiyah karena ibnu taemiyah jg mengakui atas org yg menetapkan hal tsbt. dan ibnu qoyim telah menyebutkan HAL ITU dalam kitab ijtima juyus islamiyah hal 88 Cet hindiyah:
ﻛﺘﺎﺑﺎ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ ﺍﻟﻨﻘﺾ ﻋﻠﻰ ﺑﺸﺮ ﺍﻟﻤﺮﻳﺴﻲ ﻭﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻬﻤﻴﺔ - ﻣﻦ ﺍﺟﻞ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻤﺼﻨﻔﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻧﻔﻌﻬﺎ ، ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻜﻞ ﻃﺎﻟﺐ ﺳﻨﺔ ﻣﺮﺍﺩﻩ ﺍﻟﻮﻗﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻮﻥ ﻭﺍﻻﺋﻤﺔ ﺍﻥ ﻳﻘﺮﺍ ﻛﺘﺎﺑﻴﻪ ، ﻭﻛﺎﻥ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ . . . ﻳﻮﺻﻰ ﺑﻬﻤﺎ ﺍﺷﺪ ﺍﻟﻮﺻﻴﺔ ﻭﻳﻌﻈﻤﻬﻤﺎ ﺟﺪﺍ ، ﻭﻓﻴﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺗﻘﺮﻳﺮ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﻭﺍﻻﺳﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﺑﺎﻟﻌﻘﻞ ﻭﺍﻟﻨﻘﻞ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ )

dua kitab ad darimi yaitu an naqdu alal basyar almarisi dan ar rad alal jahmiyah merupakan kitab teragung yg dikarang sesuai sunnah yg paling bermanfaat,dan seyogyanya para pencari sunnah yg ingin tau maoqif sohabat,tabi'in dan para imam, untuk membaca dua ktb tsbt,dan ibnu taemiyah telah berwasiyat dgn sangat terhadap dua ktb tsbt dan beliau sangat mengagungkannya.dan di Dalamnya menetapkan tauhid asma dan sifat yg tidak ada diselain ke duanya.-pent.

Dan di dalam kitab naqdu ala basyar almarisi sangat jelas menetapkan bhw allah menetap di arasy,lht pada hal 100 dikatakan bhw puncak gunung lbh dkt kpda allah daripada bwahnya.

Dan begitu juga ibnu utsaimin telah menjelaskan makna istiwa dgn makna istiqror: menetap' yg mana hal itu tdk ada dalam alquran dan as sunah, LHT dalam syarah lum'atul aqidah (41) :
ﻭﻫﻮ ﺍﺳﺘﻮﺍﺀ ﺣﻘﻴﻘﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺍﻟﻌﻠﻮ ﻭﺍﻻﺳﺘﻘﺮﺍﺭ .
Dan istiwaNya itu istiwa haqiqi dgn makna al uluw;di atas dan al istiqror: menetap.-pent.

Syaikh albani membantah makna istiqror

Dan sungguh albani telah membantah aqidah istiqror: allah berada (menetap)di arasy yg mana ini adalah pernyataan ibnu taemiyah dan para muqolidnya, BELIAU (AL BANI) BERKATA dalam Muqodimah muhtasor al uluw hal 17 cet tahun 1401 H:
ﻓﺎﻧﻪ ﻳﺘﻀﻤﻦ ﻧﺴﺒﺔ ﺍﻟﻘﻌﻮﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻟﻠﻪ ﻋﺰﻭﺟﻞ ، ﻭﻫﺬﺍ ﻳﺴﺘﻠﺰﻡ ﻧﺴﺒﺔ ﺍﻻﺳﺘﻘﺮﺍﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ، ﻓﻼ ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻩ ﻭﻧﺴﺒﺘﻪ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰﻭﺟﻞ ]

;Maka sesungguhnya makna yg menyimpan penisbatan qu'ud:duduk/semayam di atas arasy kepada allah,dan ini melazimkan penisbatan istiqror:menetap di atas arasy bagi allah dan ini adalah sesuatu yg tidak datang dari (quran hadits), maka tidak boleh meng'itiqadkannya dan menisbatkannya kpd allah-pent.
Maka coba renungkan..!!

Apakah haq dalam masalah ini dan kebenaran beserta ibnu taemiyah yg menetapkan makna istiqror atau berada pada pendapat albani yg menafikannya?? Dan kenapa mereka berdua berbeda dalam usul aqidah ini? Siapa yg bersama kebenaran dalam tauhid asma wa sifat ini ???

Read On 0 komentar

Bantahan atas klaim "Al Bukhari meyakini Allah berada di langit"

19.30

Para salafi sering mengutip  dari kitab Imam Bukhari untuk menyebarkan aqidah mereka. Mengingat banyaknya tuduhan  fitnah salafi terhadap  Ibnu Kullab  [rh], saya menemukan kutipan yang relevan dari al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani tentang hubungan Ibnu kulab dengan Al bukhari" dalam Fathul bari 1/323:  
مع أن ما البخاري في جميع يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل الفن 
كأبي عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم, وأما المباحث الفقهية 
له من فغالبها مستمدة الشافعي وأبي عبيد وأمثالهما, وأما المسائل 
الكلامية فأكثرها من الكرابيسي وابن كلاب ونحوهما. اه

terjemahan : di sertai bahwa al-Bukhari dalam semua yang di sampaikannya dalam tafsir al gorib, sungguh ia menuqilnya dari spesialis dalam subjeknya seperti Abu 'Ubaid, anNadr bin Shamil, al-Faraa dan lain-lain. Dan dalam hal fiqh, ia mengambil sebagian besar bersandarkan kaidah dari Imam-Syafi'i, Abu 'Ubaid dan semisalnya. Dan dalam masalah masalah ilmu Kalam, sebagian besar ia mengambil dari al-Karabisi, Ibnu Kullab dan semisalnya [Al-Fath al-Bari : 1 halaman 323] 



Berikut ini adalah beberapa kutipan dari  kitab  kholqu af"al al ibad karya Imam Albukhari yg di jadikan sandaran oleh salafi utk menyerang ahlussunnah al asy"ariyah:

  • 1. Wahab bin Jarir berkata:  kaum Jahmiyyah Zindeeq meyakini bahwa Allah tidak  Istiwaa di  atas arasnya.. 
  • 2. Hammaad bin Zaid berkata: Al Qur'an adalah  kalam Allah, yang dibawa  oleh Jibril. Mereka [yaitu Jahmiyyah]  tdk berdebat kecuali membantah bahwa Allah ada  di langit 
  • 3. Khalq mengatakan: Ibn al-Mubarak mengatakan: Kami tidak mengatakan seperti perkataan  Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Allah di bumi, tapi kita mengatakan bahwa Allah istawa di atas aras Nya  , Ibnu al-Mubarak juga  di tanya: Bagaimana  kalian tahu Tuhan  kami ? Dia menjawab:  Ia berada di atas langit-Nya  di atas Arsy-Nya. 
  • 4. Saeed bin Aamir berkata: Jahmiyyah memiliki  keyaqinan yg lebih buruk daripada orang Yahudi dan Kristen. Orang Yahudi dan Kristen dan juga semua Umat Agama  sepakat bahwa Allah ada di Arsy, tetapi Jahmiyyah berkata: "Tidak ada sesuatu ". 
  • 5. Ali [bin al-Hasan  ], mengatakan: Waspadalah terhadap al-Marreesi dan kelompoknya - perkataaan mereka penuh dgn Zandaqah. Saya berbicara dengan guru mereka, Jahm, dan dia tidak menegaskan kepada saya bahwa  Allah ada di  langit 
  • 6. Fudhayl ​​bin Iyadh berkata: Jika Jahmi mengatakan kepada Anda " Aku ingkar terhadap  Tuhan yang  hilang dari tempat-Nya", maka katakan kepadanya: "Aku percaya pada Tuhan yang melakukan apa yang Ia kehendaki". 
  • 7: Yazid bin Harun memperingatkan terhadap kesesatan Jahmiyyah dan berkata: Barangsiapa  menganggap  bahwa Ar Rahman  Istiwaa di atas arasNya dengan cara yg berbeda dgn apa yg dipahami oleh Aammah[umum], maka ia adalah seorang Jahmi. 
  • 8. Dhamurah bin Rabee'ah meriwayatkan dari Shadaqah ,beliau mendengar Sulaiman al-Taymi berkata: Jika saya ditanya:?di  MANA  ALLAH,maka  saya akan mengatakan: DI  langit . jika penanya bertanya: MANA   arasNyaNya SEBELUM   MENCIPTAKAN LANGIT?? saya akan  BERKata :  di atas AIR, jika penanya bertanya:? di MANA  arasNya SEBELUM   Diciptakan AIR, saya akan BERKata  : AKU TIDAK TAHU. 
  • 9. Muhammad bin Yusuf mengatakan: Barangsiapa mengatakan bahwa Allah tidak di Arsy, maka ia adalah kafir. Barangsiapa yang mengira bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa, ia adalah kafir. 
  • 10. Ibnu Abbas berkata: Ketika Allah berbicara kepada Musa,  berkataNya itu [dilakukan] di atas langit: Allah di atas langit. 
 Para  Ḥashwiyyah mengumpulkan kutipan  dari ulama Salaf  juga dari   Imam al-Bukhari bahwa mereka  berkeyakinan  Allah berada dalam arah  dan duduk di singgasanaNya.  sebenarnya beberapa  pernyataan dari salaf  yang seolah dohirnya menyatakan sbgmn di atas,itu hanya utk merespon terhadap sekte Jahmiyyah yang percaya bahwa Allah berada di setiap tempat dan  campur dgn ciptaanNya / maka setiap perkataan ulama sbgmn telah dikemukakan oleh salafi  tsbt yg di jadikan bukti bahwa Allah ada  pada arah dan terbatas  dgn tempat tertentu juga duduk di atas  arasy itu untuk mendukung keyakinan palsu mereka sendiri. Padahal kenyataannya  kutipan  dari ulama Salaf seperti itu hanya utk menegaskan bahwa Allah tidak  menempat dalam  ciptaan, bukan bagian dari atau campur dengan ciptaanNya ,maka di aras atau di tempat lain atau di setiap tempat,itu sama menempat dalam  ciptaan dan mustahil bagi Allah .
Imam al-Baihaqi dalam Asma 'wal -Sifat ( tahqiq Al Kawthari hal 396-397 ) menguraikan:Makna yangdi yakini oleh kaum Muslim  dari istawa  di atas Arsy"bukan berarti bersentuhan  dengan arasNya, atau   menempat  (mutamakkin FIH), atau  terbatas   (mutahayyiz)  dgn  salah satu arah (jihaat).  Dia adalah terpisah (ba'in) dari semua ciptaan-Nya. Itu hanyalah sebuah ayat dalam Al quran  sehingga kita mengatakan itu di sertai dgn menafikan setiap modalitas ( kaif) untuk  istawa ,   karena  Tidak ada apapun yang serupa dengan Dia, dan Dia adalah Maha Mendengar  dan maha Melihat}
Imam Al-Baihaqi juga mengatakan lebih  dari itu  dalam Asma 'wal -Sifat (hal. 426-427  )
Dari 'Ali bin al-Hasan bin Shaqiq: "Aku mendengar` AbdAllah ibn al-Mubarak mengatakan,'  Tuhan Kami   di atas (fawq) tujuh langit, {Dia istawa di atas Arsy-Nya},  terpisah  (ba'in ) dari   ciptaan-Nya, dan kita tidak mengatakan sebagaimana  perkataan Jahmiyya bahwa Dia ada di sini '- dan ia menunjuk ke tanah (hahuna fil-ardh) ". al baihaqi berkata "Dan istilah "terpisah  (ba'in )  " itu   untuk meniadakan klaim para Jahmiyyah; * bukan untuk menisbatkan arah  yang berlawanan kepada Allah tetapi  maksudnya adalah tinggi secara absolut.
 berikut adalah beberapa komentar atas semua  kutipan  yang di nuqilkan dari kitab  kholqu af"al al ibad karya Imam Albukhari :
Kutipan
1. Wahab bin Jarir berkata:
   [قال وهب بن جرير: "الجهمية الزنادقة إنما يريدون أنه ليس على العرش إستوى "]
 :kaum Jahmiyyah Zindeeq meyakini bahwa Allah tidak  Istiwaa di  atas arasnya.. 
Jawabannya: Ya itu benar! Karena Jahmiyya meniadakan ayat: " Ar rahman istiwa 'di atas  arasyNya" .. Mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di mana-mana dan tidak  bisa terpisah dari ciptaan-Nya, Pernyataan Imam Wahab b. Jarir  hanya dalam rangka menetapkan ayat istawa yang jelas ada  pada Al Qur'an dan sebagai sanggahan terhadap  yang mengklaim bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala  menempat dan ada di mana-mana dan  juga  pernyataan itu hanya menetapkan terpisahnya Allah   dari ciptaan-Nya   bukan menetapkan tempat atau arah pada Allah .
Kutipan
2. Hammaad bin Zaid berkata: Al Qur'an adalah  kalam Allah, yang dibawa  oleh Jibril. Mereka [yaitu Jahmiyyah]  tdk berdebat kecuali membantah bahwa Allah ada  di langit
  [قال حماد بن زيد: "القرآن كلام الله نزل به جبرائيل, ما ليس أنه يجادلون إلا في السماء إله "]


Jawabannya: Ya, Al-Qur'an adalah  kalam Allah  Subhanahu wa Ta'ala dan tidak diciptakan .  pendapat Jahmiyyah :"Al-Qur'an itu diciptakan". Ingat...!  kata "Al-Qur'an" itu  memiliki dua makna: Yang pertama maknanya adalah  sifat KALAM Allah  yang  QODIM , sedangkan yang kedua  maknanya adalah KITAB Al-Qur'an yang berupa   bahasa Arab   yg di tunjukan dgn   huruf-  contoh makna kedua ini  seperti seseorang mengatakan, "tolong  ambilkan Al-Qur'an di rak" . adapun ucapan  Salaf: "Al-Qur'an tidak diciptakan,"  maka  jelas  dgn makna yg pertama. Dan keyakinan bahwa al quran (SIFAT KALAM) ITU mahluq seperti keyakinan orang jahmiyah bahwa Allah diam lalu berkata dan diam lg dst,itu akan  mengarah kepada keyakinan bahwa  pada dzat Allah pembaharuan peristiwa  dan  menetapkan Allah bisa berubah, Kepercayaan  seperti itu di sertai  adanya keyakinan bahwa Allah qodim,itu merupakan dua hal yg kontradiksi...!! dan sama dgn  ateisme. siapa pun menganggap bahwa peristiwa penbaharuan dan perubahan dapat terjadi dalam sifat Allah, padahal Allah adalah  Al Awwal [yg maha awal]  sebagaimana pendapat Ibn Taymiyyah dan Jahm b  Safwan yg mengatakan bahwa tidak setiap perubahan peristiwa yang terjadi dalam entitas  dapat menjadi  sebuah bukti  bahwa entitas itu ada permulaan dan  diciptakan,  sehingga tdk tidak ada bukti  bahwa dunia  ini ada permulaan dan diciptakan.  maka Ibn Taymiyyah al -Harrani - meyakini bahwa al alam qodim (sifat) dunia adalah abadi, dan keyakinan atas keabadian dunia berdampak bahwa  alam tdk perlu pencipta, dan itu merupakan penolakan kpd pencipta atau pengingkaran Tuhan.Dengan demikian, perkataan Hammad b. Zaid itu benar, karena pernyataan bahwa "Al-Qur'an diciptakan" mengarah kepada penolakan mutlak dari adanya Allah. Dan pernyataan jahmiyah bahwa Allah  tdk di   atas langit ,maksud mereka adalah meniadakan ayat " 
" ءأمنتم من في ٱلسمآء بكم أن يخسف فإذا هي ٱلأرض تمور 67 : 17
dan as"ariyah tdk meniadakan ayat tsbt tp kmbali kepada konsep pemahaman tntg ayat mutasyabihat
Kutipan
3. Khalq mengatakan: Ibn al-Mubarak  berkata :.
[قال ابن المبارك: "لا نقول كما قالت الجهمية إنه في الأرض ههنا, بل على العرش استوى" وقيل له: كيف تعرف ربنا? قال: "فوق سماواته على عرشه"]

:Kami tidak mengatakan seperti perkataan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Allah di bumi, tapi kita mengatakan bahwa Allah istawa di atas aras Nya Ibnu al-Mubarak juga di tanya: Bagaimana kalian tahu Tuhan kami ? Dia menjawab: Ia berada di atas langit-Nya di atas Arsy-Nya.



Jawaban: Ya, kami mensifati Allah dengan apa pun yang telah di sipati utk diriNya dan Dia istawa ala arsyi, Oleh karena itu kami tidak mengatakan sbgmn perkataan Jahmiyah bahwa Allah ada di setiap tempat [والعياذ بالله] melainkan Dia ada tanpa tempat, kami tahu ini dari teks-teks yang jelas [muhkam] ,ucapan ibnu almubarok itu tidak lain hanya utk menetapkan nas yg ada di dalam Kitab dan Sunnah dgn tanpa takwil dan tanpa menetapkan makna dohir yg hissi . Sebaliknya beliau menetapkan apa yg datang dari nas dan diam dgn menyerahkan maksudnya kepada Allah sbgmn cara salaf dalam makna (tafwid). sebagaimana Imam Al-Baihaqi mengatakan dalam Asma 'wal -Sifat (hal. 426-427)

Dari 'Ali bin al-Hasan bin Shaqiq: "Aku mendengar` AbdAllah ibn al-Mubarak mengatakan,'  Tuhan Kami   di atas (fawq) tujuh langit, {Dia istawa di atas Arsy-Nya},  terpisah  (ba'in ) dari   ciptaan-Nya, dan kita tidak mengatakan sebagaimana  perkataan Jahmiyya bahwa Dia ada di sini '- dan ia menunjuk ke tanah (hahuna fil-ardh) ". al baihaqi berkata "Dan istilah "terpisah  (ba'in )  " itu   untuk meniadakan klaim para Jahmiyyah; * bukan untuk menisbatkan arah  yang berlawanan kepada Allah tetapi  maksudnya adalah tinggi secara absolut. 

[Dari  ktb Ihya al-Qawa`id wa al-aqa'id   Imam al-Ghazali 'berkata : " Allah berada di atas Arsy, di atas langit, di atas segalanya , dengan keMuliaan  dan tidak  menjadikan  Dia lebih dekat ke  arasy atau langitnya  dan tidak membuat Dia lebih jauh dari Bumi ". ]
Kutipan
4. Saeed bin Aamir berkata:
 - [- قال سعيد بن عامر: "الجهمية أشر قولا من اليهود والنصارى, قد اجتمعت اليهود والنصارى أن الله وأهل الأديان تبارك وتعالى على العرش , وقالوا هم: ليس على شيء "]
Jahmiyyah memiliki  keyaqinan yg lebih buruk daripada orang Yahudi dan Kristen. Orang Yahudi dan Kristen dan juga semua Umat Agama  sepakat bahwa Allah ada di Arsy, tetapi Jahmiyyah berkata: "Tidak ada sesuatu ".
Jawaban: Ya betul, karena jahmiyah mendustakan ayat dalam Al Qur'an dgn berkata  Allah tidak di atas  aras tetapi Allah ada di setiap tempat dan campur dgn ciptaannya, amit-amit....!! Mereka tidak menerima  ayat istawa tsbt dgn konsep tafwid makna yang tepat  kepada Allah, karena akal kaum jahmiyah dalam kebingungan dan tidak mampu memahami bahwa Allah  ada tanpa tempat dan arah dan ada di luar ruang dan waktu dan jg tdk tercapai oleh indra ,Maka dia tidak  mampu  berkata kecuali :"Tuhan adalah udara ini dan ada di mana-mana", ini adalah pandangan Jahamiyya,  jadi mereka tdk menerima  ayat istiwa    dgn di sertai tanzih  [mansucikan ] Allah dari arah dan bentuk.
Kutipan
5. Ali [bin al-Hasan]  mengatakan: 
5 - [قال علي: "من إحذر المريسي وأصحابه فإن كلامهم يستجلي الزندقة وأنا كلمت أستاذهم جهما فلم يثبت لي أن في السماء إلها "]
Waspadalah terhadap al-Marreesi dan kelompoknya - perkataaan mereka penuh dgn Zandaqah. Saya berbicara dengan guru mereka, Jahm, dan dia tidak menegaskan kepada saya bahwa  Allah ada di  langit 
Jawaban: Ini  sebagaimana penjelasan sebelumnya . . bahwa Kepercayaan dari Jahmiyah adalah ( Allah  menyatu dgn ciptaan-Nya)  dan ini penyimpangan mutlak,  Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan tentang  dzatnya:"Apakah kalian merasa aman dgn yg di langit "  [67:17]  dgn mengikuti sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas tntg ayat itu, sbgmn telah disebutkan dalam Zad al-Maisir karya  Ibn al-Jauzi. Tetapi Jahmiyah tidak menerima akan apa yg datang dlm Al Qur'an dgn menyerahkan arti yang tepat yg dimaksudkan  pada ayat itu kepada Allah . .... Pada  poin ini  sebaiknya juga melihat tafsir  ayat tersebut 'dalam tafsirnya  Imam al-Qurtubi   . 
Mengenai Sabda Nabi yang  ada dalam Kitab Tauhid dari ktb Sahih al-Bukhari , bab 22, dan  dalam bab 55: Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari  : Ketika kita mengatakan: "Allah berada di atas Arsy" ( Allah `ala al-` arsy ) , itu  bukan berarti  menyentuh atau  menempat di atas arasnya atau dibatasi oleh sisi tertentu dari ArsyNya. Sebaliknya, itu adalah  adalah nas mutasyabihat sehingga kita mengimaninya  dgn  meniadakan modalitas [kaif] apapun, karena Dia tidak  serupa  dgn apapun.   
kutipan 
6. Fudhayl ​​bin Iyadh berkata:  
 [قال الفضيل بن عياض: "إذا قال أنا لك الجهمي أكفر برب يزول عن مكانه, فقل: انا أؤمن برب يفعل ما يشاء "]
 Jika Jahmi mengatakan kepada Anda " Aku ingkar terhadap  Tuhan yang  hilang/berpindah dari tempat-Nya", maka katakan kepadanya: "Aku percaya pada Tuhan yang melakukan apa yang Ia kehendaki". 





Jawaban: Ada beberapa poin yang perlu di perhatikan di sini kepercayaan Jahmi yaitu menetapkkan tempat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah menyatu dgn tempat tsbt karena Allah ada dimana-mana, malah menurutnya Allah adalah tempat itu sendiri! Ini jelas berbeda dengan pendapat Mu'tazilah ,apalagi dgn Ahl al-Sunnah sbgmn sudah kita ketahui bahwa Allah tdk menempat. maka kaum As 'ariyah tdk dimaksudkan dalam atsar fudail bin iyadl di atas, karena sejak awal as"ariyah meniadakan tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segala hal. maka al-Fudayl bin Iyad membantah jahmiyah dengan jawaban bahwa allah melakukan sekehendaknya (Sifat al-fi'l) dan tindakan Allah berkaitan dgn Iradah [kehendak] Nya", dan irodahNya berhubungan dgn penentuan trhadap segala sesuatu yang mungkin [mahluq] maka tindakannya terjadi bukan utk dzat Allah Subhanahu wa ta'ala tetapi tindakan utk mencipta. 



Kutipan
7: Yazid bin Harun memperingatkan terhadap kesesatan Jahmiyyah dan berkata: Barangsiapa  menganggap  bahwa Ar Rahman  Istiwaa di atas arasNya dengan cara yg berbeda dgn apa yg dipahami oleh Aammah[umum], maka ia adalah seorang Jahmi
Jawaban: sebagaimana telah di sebutkan bahwa jahmiyah meyakini bahwa Allah ada di setiap tempat, maka memunculkan  ayat Ar rohman alal arsyistawa dengan femahaman yg berbeda dgn apa yg di pahami oleh umum dari tabiin dan keumuman salaf,maka ia adalah jahmi, kata amah [umum] di sini maksudnya keumuman ahli ilmu sbgmn dalam istilah mereka ,bukun umumdalam arti orang awam,karena ucapan orang awam tdk bisa di jadikan sandaran,maka oleh sebab itu,tdklah jauh pernyataan yazid ibn mubarok tsbt dalam memperingatkan jahmiyah.
Kutipan
8. Dhamurah bin Rabee'ah meriwayatkan dari Shadaqah ,beliau mendengar Sulaiman al-Taymi berkata:Jika saya ditanya:?di  MANA  ALLAH,maka  saya akan mengatakan: DI  langit. jika penanya bertanya:di MANA   arasNya  SEBELUM   MENCIPTAKAN LANGIT?? saya akan  BERKata :  di atas AIR.  jika penanya bertanya:? di MANA  arasNya SEBELUM   Diciptakan AIR, saya akan BERKata  : AKU TIDAK TAHU. 
Jawaban: betul...ketika di tanya, kita jawab "fis sama" karena nas datang dgn lafad itu seperti dalam hadits jariyah,akan tetapi maksudnya adalah tinggi status bukan menetap dan menempat,aras adalah tanda kekuasaanNya,dan sebelum ada langit,arasnya di atas air sebagaimana datang dalam nas,dan sblm ada air,saya tdk tau karena tdk ada nas
Kutipan
9. Muhammad bin Yusuf mengatakan: Barangsiapa mengatakan bahwa Allah tidak di Arsy, maka ia adalah kafir. Barangsiapa yang mengira bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa, ia adalah kafir. 
Jawaban:betul karena Allah swt berfirman Ar rohman alal arsyistawa dan wa kallamallohu musa taklima...maka barangsiapa mengingkari ayat istawa dan kalam Allah terhadap Musa as maka dia inkar dan mendustakan kitab Allah
Kutipan
10. Ibnu Abbas berkata: Ketika Allah berbicara kepada Musa,  berkataNya itu [dilakukan] di atas langit: Allah di atas langit. 

Jawaban: jawabannya pakai bahasa arab z y...he ini kan poin terakhir..!! neh jawabannya:

-الجواب : سبق الجواب على مثله بما يغني عن الاعادة ، وفيه أن الله ناجى موسى عليه السلام وقربه نجيا دون قرب حسي أو مخالطة مصداقا لما ورد عنه صلى الله عليه وسلم أنه قد كذب من زعم أنه كان أقرب إلى الله حين أسري به وعرج به إلى السماء من يونس بن متي وهو في بطن الحوت الكامن في أعماق إذ ليس ثمة مكان لله سبحانه وتعالى ليكون أقرب من شخص في مكان منه بالنسبة لشخص آخر في مكان آخر .



inilah kesimpulan aqidah kaum jahmiyah :
------------------------------------------------------------------------  
 ! نفي صفات الله مطلقا -

 قول بأن الله لا يوصف بما يمكن أن يوصف به المخلوق ، فلا يصح عنده أن يقال الله عالم أو حي أو قادر ولكن يقال  له خالق ورازق ومميت ومحيي

  ! القول بالوحدة والحلول وأن الله في كل مكان -

 القول بعدم امتناع الحوادث عليه سبحانه وأن علمه يتجدد وأنه سبحانه وتعالى يتكلم -
إذا شاء ويسكت إذا شاء 

!   القول بخلق القرآن -

!  القول بالجبر المطلق وأن لا قدرة حادثة للعبد ولا استطاعة -

!   القول بفناء الجنة والنار وفناء من فيهما -

kesimpulan tersebut tedapat dalam kitab al milal wan nihal karya as sahrostani dan juga terdapat dalam muqodimah kitab tauhid dari soheh imam al bukhari dalam kitab syarahnya yaitu fathul bari karya Ibnu Hajar 
wallohu a"lam bis shawab.....!
Read On 0 komentar

Random Aswaja News

Total Tayangan Halaman